“Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Namun, dari sisi sejarah MA sudah
ada sejak 19 Agustus 1945 (lihat, Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Laporan Tahunan 2010, Februari 2011, hal. 17). Sedangkan, MK mulai
berdiri sejak 17 Agustus 2003.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,
MA dan MK memegang kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1
Angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”).
Kemudian, sebelum memberikan
penjelasan mengenai perbedaan MA dan MK, kita akan simak definisi MA dan MK.
Pengaturan mengenai MA dapat kita
temui dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (“UU 14/1985”)yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (“UU
5/2004”) dan kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 (“UU
3/2009”).
Peran
Mahkamah Agung dapat kita temukan dalam Pasal 2 UU 14/1985 yang
berbunyi:
“Mahkamah Agung adalah Pengadilan
Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan
tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”
Di
dalam penjelasan umum UU 3/2009 dikatakan bahwa MA adalah pengadilan
negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh
karena itu, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
Selanjutnya, kami akan menjelaskan
mengenai MK yang pengaturannya dapat kita temui dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (“UU MK”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (“UU
8/2011”)
Peran MK dapat kita temukan dalam Pasal
1 UU 8/2011 yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
O.C.
Kaligis dalam bukunya yang berjudul Mahkamah
Konstitusi Praktik Beracara & Permasalahannya mengatakan bahwa MA dan
MK sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary)
yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive)
dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Namun, struktur
kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama
lain (hal. 71).
Sebagian
perbedaan-perbedaan MA dengan MK dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Perbedaan
|
Mahkamah Agung
|
Mahkamah Konstitusi
|
Kewenangan Menurut UUD 1945
|
1.mengadili
pada tingkat kasasi
2.menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
3.mempunyai
kewenangan lain yang diberikan undang-undang
(Pasal 24A ayat [1] UUD 1945)
|
1. mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
2. memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
3. memutus
pembubaran partai politik
4. memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum
(Pasal 24C ayat [1] UUD 1945)
|
Tugas dan Wewenang menurut Undang-Undang yang Mengaturnya
|
MA bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus (Pasal 28 ayat [1] UU MA):
1.
permohonan kasasi
Henry P. Panggabean dalam
bukunya yang berjudul Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari menjelaskan
bahwa peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan karena dianggap mengandung
kesalahan dalam penerapan hukum. Fungsi dari kasasi itu sendiri adalah
membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan UU
di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil (hal. 82).
2.
sengketa tentang kewenangan mengadili
MA
memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa kewenangan
mengadili:
a. Antara
pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan
peradilan yang lain
b. Antara dua
pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang
berlainan dalam lingkungan peradilan yang sama
c. Antara dua pengadilan
tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antar lingkungan
peradilan yang berlainan (Pasal 33 UU MA)
3.
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
Permohonan
peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini MA
mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung
ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan hakim (ibid, hal. 110).
4.
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang. (Pasal 31 UU 5/2004)
|
MK
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk (Pasal 10 ayat [1] UU MK):
1. menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. memutus pembubaran partai
politik
4. memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum
|
Pencalonan Hakim
|
Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR
untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh presiden. (Pasal 24A ayat [3] UUD 1945)
|
MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh
presiden. (Pasal 24C ayat [3] UUD 1945)
|
Jumlah Hakim
|
Jumlah hakim agung paling banyak 60 orang. (Pasal 4 UU
5/2004)
|
Susunan MK terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim MK. (Pasal
4 ayat [2] UU 8/2011)
|
Cabang Kekuasaan Kehakiman
|
MA memiliki cabang kekuasaan yang
terdiri dari badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara. (Pasal 24 ayat [2] UUD 1945 dan
Pasal 65 UU 14/1985)
|
Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, MK tidak memiliki
cabang kekuasaan kehakiman. MK hanya ada satu dan berkedudukan di Ibukota
Negara Republik Indonesia. (Pasal 3 UU MK)
|
Sifat Putusan
|
Putusan MA bersifat final, namun dapat
dilakukan upaya hukum, berupa Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan Grasi.
- Upaya
hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 66 s.d Pasal 76 UU 14/1985)
- Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana
dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden (Pasal 2 ayat [1] UU No.
22 Tahun 2002 tentang Grasi). Kemudian MA memberikan nasehat hukum kepada
presiden selaku kepala negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal
35 UU 14/1985)
|
Putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final
dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula
kekuatan hukum mengikat (final and binding). (Penjelasan Pasal 10
ayat [1] UU 8/2011)
|
Demikian
penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar