Oleh
: TRI JATA AYU PRAMESTI, S.H.
“Dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja (“PHK”), pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Berikut di bawah ini akan
uraikan beberapa pasal yang mengatur tentang uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, dan uang penggantian hak satu persatu.
Untuk mengetahui rumus perhitungan uang
pesangon, kita merujuk pada ketentuan dalam Pasal 156 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan:
“Perhitungan
uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
sebagaiberikut:
a. masa kerja kurang
dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima)
tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8
(delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.”
Untuk mengetahui rumus perhitungan uang
penghargaan masa kerja, kita merujuk pada ketentuan dalam Pasal
156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan:
“Perhitungan
uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam)
tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9
(sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua
belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima
belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
f. masa kerja 18
(delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun,
7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua
puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.”
Untuk mengetahui apa saja yang menjadi
komponen perhitungan uang penggantian hak, kita merujuk pada
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan:
“Uang
penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
a. cuti tahunan yang
belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos
pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh
diterima bekerja;
c. penggantian perumahan
serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.”
Pasal mengenai perhitungan hak-hak yang
diterima pekerja dalam hal pekerja tersebut di-PHK karena efisiensi terdapat
dalam Pasal 164 ayat (3) yang berbunyi:
“Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut
atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan
efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Berdasarkan Pasal 164 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan, apabila PHK dilakukan oleh pengusaha karena
perusahaan melakukan efisiensi, maka pekerja/buruh berhak
atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Sekiranya perlu berasumsi bahwa telah
bekerja di perusahaan tersebut selama 4-5 tahun. Selain itu, upah pokok adalah
sebesar Rp2.300.000. Jadi, jika berpedoman secara berurutan dari ketentuan
pasal-pasal di atas dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 156 ayat
(2) huruf e (masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari
5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah), dalam hal PHK karena
efisiensi seperti kasus yang hadapi ini, perhitungan uang yang berhak diperoleh
adalah:
(Rp2.300.000 x 5) + (Rp2.300.000 x 2 x 1) + uang
penggantian hak
|
Kemudian, berdasarkan Pasal 157
ayat (1) UU Ketenagakerjaan,komponen upah yang digunakan sebagai dasar
perhitungan uang pesangon,terdiri atas:
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk
tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan
keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada
pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh
dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian
dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
Jadi, hasil penjumlahan ketiga hak yang
terima seperti yang tertera pada kotak di atas ditambah lagi dengan tunjangan
tetap yang terima dalam setiap bulannya.
Masalah PHK Karena Efisiensi
Ketentuan di atas berlaku dalam hal
alasan perusahaan mem-PHK karena alasan efisiensi. Berdasarkan wawancara via telepon dengan hakim ad hoc
Pengadilan Hubungan Industrial, Juanda
Pangaribuan, S.H., M.H, pengertian
efisiensi itu harus diartikan secara benar. Tujuan efisiensi adalah
penghematan, yakni penyelamatan keuangan perusahaan, salah satu contohnya
adalah karena adanya restrukturisasi di perusahaan tersebut.
Jika mem-PHK atas dasar efisiensi, maka
cara perhitungan hak-hak yang terima adalah seperti yang uraikan
di atas, mengingat Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan telah
diuji materiil di Mahkamah Konstitusi (“MK”) karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945(“UUD
1945”). Dalam hal ini, MK melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 164 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau
perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Selain itu, Pasal 164 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang frasa
“perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan
tutup tidak untuk sementara waktu”. Artinya, untuk memberlakukan pasal ini dan
penerapan pasal ini tidak diterapkan secara inkonstitusional, efisiensi
tersebut dapat dilakukan jika perusahaan tutup secara permanen. Menurut Juanda,
pasca dikeluarkannya putusan MK ini, Pasal 164 ayat (3) berlaku sepenuhnya jika
alasan PHK adalah benar-benar karena efisiensi perusahaan dan ditutup secara
permanen. Hal ini dinilai aneh karena yang namanya perusahaan tutup secara
permanen, sudah bukan berarti efisiensi lagi. MK mengatakan bahwa apabila
perusahaan tersebut tutup sementara, Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan ini
dianggap inkonstitusional dan tidak dapat diberlakukan sepenuhnya.
Juanda menambahkan, sebelum ada Putusan
MK tersebut, Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dianggap pasal keranjang
sampah. Hal ini karena penekanan “efisiensi” tidak diterapkan sebagaimana
mestinya. Karyawan yang di-PHK oleh perusahaan hanya karena pekerja melakukan
kesalahan atau karena pengusaha tidak menyukai karyawan tersebut tidak memiliki
dasar hukum sehingga pengusaha “mencari-cari dasar hukum” sendiri dengan
disebutlah alasannya karena efisiensi. Jadi pasal yang dipakai sebagai dasar
hukum PHK pekerja tersebut adalah Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Padahal
sebenarnya tujuan efisiensi itu sendiri adalah untuk penghematan, yakni
penyelamatan keuangan perusahaan. Pasca putusan MK, banyak pengusaha berpikir
dua kali untuk menggunakan pasal tersebut untuk melakukan PHK kalau alasannya
tidak betul-betul karena efisiensi dan perusahaan tutup secara permanen.
Jadi perhitungan hak-hak (uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak) yang didapat
oleh pekerja yang di-PHK karena efisiensi harus mengacu pada putusan MK
tersebut, yang mana perusahaan tersebut juga harus tutup secara permanen. Jika
alasan efisiensi tersebut dilakukan oleh perusahaan tempat bekerja dan perusahaan tersebut tutup secara
permanen, maka cara perhitungan hak-hak yang didapat oleh pekerja adalah
sebagaimana yang jelaskan di atas.
Demikian, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar